Sabtu, 31 Desember 2011

tema kegelisahan


Tulisan 7
kegelisahan
Demi hari yang tak pernah menemani, waktu terus melaju, tak pernah sedikitpun mundur untuk menghentikannya. Di belahan bumi yang gelap aku duduk sendiri di pingiran kota yang sangat ramai namun aku hanya sendiri tanpa ada yang menemani, angin malam menyergap kegalisahanku di setiap malam-malamku, bulan dan bintang menemani sepi, yang sendiri aku di sini.
“adakah seseorang yang dapat menemani malam-malamku yang bisa menemani ku di setiap hari yang akan aku lewati di sisa umurku ini ? “
Hanya harapan yang dapat aku curahkan di setiap doa yang ku minta kepadamu yaa tuhan, hanya engkau yg dapat mengabulkan doa-doa ku yg tak ada habis-habisnya aku minta kepadamu . namun kenapa engkau terdiam engkau tak mengabulkan doa-doa ku ini .
Keputus asaan dan kegelisahan inilah yang selalu aku rasakan.
“kemana orang-orang yang sangat aku cintai dan aku sayangi ? “
Mereka pergi entah kemana, meningkalkan aku yg sudah tua rentan ini .
Aku hanya bisa menunggu ajal yang datang menghampiriku, yang aku sendiri pun tidak tahu kapan datangnya itu, aku ingin dunia ini tahu kalau aku sendiri, kalau aku gelisah, aku menangis, dan aku tak berdaya.
Pagi ini lebih cerah dari biasanya, seakan langit membocorkan udara surga ke bumi. Seperti pagi-pagi yang lalu, aku sudah duduk di gang di warung pinggir jalan simpang tiga belakang rumahku, menyeduh kopi pahit dan mencumbui rokok menthol kesukaanku. Lalu lalang pengguna jalan sudah jadi pemandangan yang biasa, jika ada yang kenal ya saling sapa, kalau tak kenal ya ku lihat cuek dia berlalu. Disaat seruputan terakhir yang paling nikmat, ada yang menyapaku .
“Hai kawan, tumben wajah gelisahmu tak seperti biasanya.”
“Hai kau, tahu apa kau tentang wajah gelisahku, kau hanya seekor burung yang tinggal di pendopo tua itu. Kawan, aku sekarang tak hanya gelisah yang diam, tapi juga penasaran yang bergerak untuk berusaha menanti dan mencari seseorang.”
“Augh……  walau aku seekor burung, tapi aku burung yang lebih tahu darimu. Augh…. Siapa seseorang itu?”
“Dia salah satu orang yang amat aku cintai dan aku sayangi.”
“Augh….  Pasti seseorang yang amat kau butuhkan untukmu, seseorang yang sering kudengar dari cerita kegelisahanmu. Tapi, bagaimana kau yakin dapat menemukan dia?”
“Aku yakin karena kegelisahanku tak pernah meleset, lagi pula aku juga dapat kabar dari sebagian orang yang datang menyapaku.”
“Augh…. Begitu. Baiklah, selamat menunggu, penasaran!”
“Kawan, apa kau tahu tentang dia? Barang kali kau pernah dengar dari tuanmu atau kawanmu itu.”
“O, tidak…. Sudah jangan tanya lagi, percuma aku tak tahu apa-apa tantang dia. Kalau pun tahu aku tidak akan memberi tahumu. aku akan pergi..”
Apapun yang terjadi, aku yakin kegelisahanku akan menemukan kebahagiaannya, dan penasaranku juga akan terjawab dengan kedatangnya yang memberitahukan patanda untukku. Walau aku tahu akan ada kegelisahan lain yang muncul setelah itu. Suasana sore yang cantik di kaki langit barat yang menelan matahari, semakain membuatku tak sabar menanti saat-saat itu yang tinggal semalam.
Ohh....begitu romantisnya rasa kegelisahan, penasaran membeku dalam lamunan yang terindah. Daun jatuh dipelataran pendopo berbisik padaku sebagai pesan terakhirnya, malam yang hitamnya mendekap putih bulan dan kerlip bintang-bintang yang ada di atas sana, aku merasa jabatan tangan telah terjadi bersama pesan yang disampaikan daun-daun kepadaku . Seperti malam yang kemarin, aku duduk dipingiran kota yang ramai, angin menyergap kegelisahan, sepi, yang sendiri. Walau berkali-kali mendengar cerita kegelisahan yang sama, aku tak merasa jenuh, sampai hari yang ditunggu tiba.
Kehikmatan suasana dalam acara itu membuatku tak nyaman. Aku terus digerus kegelisahan, penasaran membuatku menjadi tak karuan. Ditengah kota aku kesepian, kejenuhan pun menghinggapi sebagian dari mereka yang ada, Itu sudah wajar terjadi. Kesempatan bagiku, yang mungkin tidak ada untukku, ikut mengalir kegaduhan dari mereka sembari mencari tahu tentang seorang pembawa petanda untukku. Kemudian mereka memberitahukan ku sebuah nama dan orangnya, ya, seseorang yang kumaksud.
Malam ini, aku sedang tak ingin duduk di pingiran kota. Aku ingin semalam ini hanya dalam kamarku, duduk menghadap kanvas putih dan mengoleskan warna-warna kegelisahan yang aku rasakan, yang tak pernah menemukan terangnya. Ku gambar tanda-tanda itu sebagai penggalan cerita terindah sepanjang suratan napasku.
Perpisahan setelah pertemuan  sudah wajar harus diterima, rela atau tidak rela, kulepas kepergiannya dengan do’a, kembali ke daratan asalnya. Demi waktu yang akan berakhir tanpa akhiran, cerita-cerita kegelisahan itu kosong dan akan tetap sama hingga kegelisahan bertemu terangnya .
“selesai........


Tidak ada komentar:

Posting Komentar